-->
ASPEK AKSIOLOGI ILMU MANAJEMEN - Filsafat Ilmu Manajemen

ASPEK AKSIOLOGI ILMU MANAJEMEN - Filsafat Ilmu Manajemen

ASPEK AKSIOLOGI ILMU MANAJEMEN - Filsafat Ilmu Manajemen

A. PENDAHULUAN
Filsafat yaitu ilmu pengetahuan yang komprehensif yang berusaha memahami problem – problem yang timbul di dalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Dengan demikian filsafat dibutuhkan insan dalam upaya menjawab pertanyaan yang timbul dalam banyak sekali lapangan kehidupan manusia, termasuk masalah kehidupan dalam bidang ilmu manajemen. Jawaban hasil pemikiran filsafat bersifat sistematis, integral, menyeluruh dan mendasar. Filsafat dalam mencari balasan dilakukan dengan cara ilmiah, objektif, memberikan pertanggungjawaban dengan berdasarkan pada budi sehat manusia, demikian halnya untuk menjawab persoalan-persoalan insan dalam bidang ilmu administrasi (Jalaludin dan Idi, 2007: 125).
Menurut Atmaja, Nengah Bawa dan Atmaja, Anantawikrama (2014: 139), kita dapat melihat Gambar 1.1 yang akan menjelaskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang melandasi kebenaran ilmu dan pengembangannya secara umum.

Gambar 1.1 Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi yang Melandasi Kebenaran Ilmu dan Pengembangannya.


Sumber:Diadaptasi dari Mustansyir dan Munir (2006) serta Suriasumatri (2001) dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014)

Pada Gambar 1.1, menjelaskan bahwa eratnya kekerabatan antara ontologi, epistemologi dan aksiologi dalam melandasi kebenaran dan pengembangan ilmu, dapat dicermati dari Suriasumantri dalam Atmadja, Nengah Bawa dan Atmadja, Anantawikrama Tungga (2014: 139), bahwa setiap jenis ilmu pengetahuan memiliki tiga ciri tersebut dan ketiganya saling berkaitan, sehingga dengan cara ini dimungkinkan untuk menerima pemahaman yang utuh ihwal hakikat ilmu pengetahuan secara, tidak saja filosofis dan akademik, tetapi juga praktisnya. Dan fokus pembahasan kita akan masuk pada dimensi Aksiologi dalam Ilmu Manajemen.

B. DEFINISI AKSIOLOGI MANAJEMEN
Menurut Noor (2013:83), secara etimologi aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi yaitu teori ihwal nilai. Menurut Jujun, aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan banyak sekali pertimbangan ihwal apa yang dinilai. Teori ihwal nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Menurut Muhammad Noor Syam (1986) dalam Jalaludin (2007: 84) bahwa aksiologi yaitu bidang yang menyelidiki nilai – nilai (value). Nilai dan implikasi aksiologi di dalam ilmu administrasi ialah pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai (nilai tindakan moral, nilai lisan keindahan dan nilai kehidupan sosio – politik) di dalam kehidupan manusia. Pertanyaan yang berkaitan dengan aksiologi yaitu apakah yang baik?
Menurut Kattsoff (1987) dalam Torang (2014:105) bahwa aksiologi yaitu ilmu pengetahuan yang mengkaji hakikat nilai. Aksiologi juga sebagai penuntun dalam menerapkan atau memanfaatkan ilmu.
Adapun Bramel dalam Noor (2013:83), membagi aksiologi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu lisan keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Permasalahan aksiologi dalam ilmu administrasi (Noor , 2013:83), adalah:
1. Sifat nilai atau paras nilai didukung oleh pengertian ihwal pemenuhan hasrat, kesenangan, kepuasan, minat, kemauan rasional yang murni, serta persepsi mental yang erat sebagai pertalian antara sesuatu sebagai sarana untuk menuju ke titik selesai atau menuju kepada tercapainya hasil yang sebenarnya. Di dalam mengkaji administrasi berkecimpung tentunya dilandasi dengan hasrat untuk menerima kepuasan.
2. Perihal tipe nilai didapat informasi bahwa ada nilai intrinsik dan ada nilai instrumental. Nilai intrinsik ialah nilai konsumatoris atau yang melekat pada diri sesuatu sebagai bobot martabat diri (prized for their own sake). Yang tergolong ke dalam nilai intrinsik yaitu kebaikan dari segi moral, kecantikan, keindahan, dan kemurnian. Sedangkan nilai instrumental yaitu nilai yaitu nilai penunjang yang menyebabkan sesuatu memiliki nilai intrinsik.
3. Penerapan tipe nilai bagi administrasi diarahkan sebagai profesi. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk mengklasifikasikan administrasi sebagai profesi. Kriteria untuk menentukan sesuatu sebagai profesi yaitu sebagai berikut:
a. Para profesional membuat keputusan atas dasar prinsip-prinsip umum.
b. Para profesional menerima status mereka karena mencapai standar prestasi kerja tertentu, bukan karena favoritism atau karena suku bangsa atau agama.
c. Para profesional harus ditentukan oleh suatu isyarat etik yang kuat, dengan disiplin untuk mereka yang menjadi kliennya.
Dapat disimpulkan bahwa aksiologi itu permasalahaannya mengenai nilai. Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki insan untuk melaksanakan banyak sekali pertimbangan ihwal apa yang dinilai. Teori ihwal nilai dalam filsafat mengacu kepada permasalahan etika dan estetika. Oleh karena itu, nilai ilmu administrasi tidak hanya bersifat intrinsik sebagai seni, melainkan juga nilai ekstrinsik sebagai ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam manajemen.

C. AKSIOLOGI DALAM MORAL CONDUCT MANAJEMEN
Moral conduct, yaitu tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan susila istiadat manusia. Tujuan dari etika yaitu semoga insan mengetahui dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku insan menjadi sentral persoalan. Maksudnya yaitu tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Yang Mahakuasa sebagai sang pencipta.
Selanjutnya, Suriasumantri mengatakan bahwa kekuasaan ilmu yang besar ini mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat. Untuk merumuskan aksiologi dari ilmu, Jujun S Sumantri merumuskannya kedalam 4 tahapan yaitu:
1. Untuk apa ilmu tersebut digunakan?
2. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
3. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
4. Bagaimana kaitan antara teknik procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral / professional.
Dari apa yang dirumuskan diatas dapat dikatakan bahwa apapun jenis ilmu yang ada, kesemuanya harus diadaptasi dengan nilai-nilai moral yang ada di masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan bersama, bukan sebaliknya malahan mengakibatkan bencana. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Terkait dengan nilai etika atau moral, bahwasanya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap insan untuk menyatakan baik atau jelek, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian insan memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya. Demikian juga terhadap ilmu.
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan kalau seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau tidak mengindahkan nilai – nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat bagi kehidupan insan kalau dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah – kaidah yang membimbing tingkah laku insan sehingga baik. Karena secara umum moral diukur dari sikap insan sebagai pelakunya, dapat timbul pula perbedaan penafsiran.

D. AKSIOLOGI DALAM ESTHETIC EXPRESSION MANAJEMEN
Pengertian Estetika
Estetika berasal dari dari kata Yunani Aesthesis yang berarti pengamatan. Semiawan (2005:159), menjelaskan estetika sebagai the study of nature of beauty in the fine art, yang mempelajari ihwal hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji ihwal hakikat cantik dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengalaman ilmiah semoga ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan pembentukan mode – mode yang estetis dari suatu pengalaman ilmiah (Susanto 2011:119).
Estetika dapat dibedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif. Estetika deskriptif menggambarkan gejala – gejala pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mencari dasar pengalaman itu. Misalnya, ditanyakan apakah keindahan itu hasilnya sesuatu yang objektif (terletak dalam lukisan) atau justru subjektif (terletak dalam mata insan sendiri).
Perbedaan lain dari estetika yaitu estetis filsafat dan estetis ilmiah. Perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan. Estetis filsafati yaitu estetis yang menelaah sasarannya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetis filsafat ada yang menyebut sebagai estetis analitis, karena tugasnya hanyalah mengurai. Sedangkan estetis ilmiah yaitu estetis yang menelaah estetis dengan metode-metode ilmiah, yang tidak lagi merupakan cabang filsafat (The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:101).
Pengertian Keindahan
Keindahan menurut etimologi berasal dari kata Latin Bellum yang berarti kebaikan. Menurut cakupannya,keindahan dapat dibedakan sebagai suatu kualitas abnormal (beauty) dan sebagai sebuah benda tertentu yang cantik (the beautiful).
Kalau estetika dirumuskan cabang filsafat yang berafiliasi dengan teori keindahan, maka definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali apa keindahaan itu, sedangkan teori keindahan menjelaskan bagaimana keindahan itu. Persoalan pokok dari teori keindahan yaitu mengenai sifat dasar keindahan dari apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda yang cantik atau hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda tersebut?
Apa sesungguhnya keindahan itu? Keindahan pada dasarnya yaitu sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang paling sering disebut yaitu kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast)( The Liang Gie dalam Surajiyo 2014:103).
Pengertian lain dari keindahan menyerupai yang digambarkan oleh Herbert Read, Thomas Aquinas, dan Kaum Sofis di Athena. Herbert Read memberikan pengertian keindahan, yakni kesatuan beberapa kekerabatan bentuk yang diterima oleh indrawi. Thomas Aquinas menyatakan keindahan sama dengan suatu yang menyenangkan. Adapun Kaum Sofis di Athena memberikan gambaran keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran. Dalam estetis modern, orang lebih banyak berbicara ihwal seni dan pengalaman estetis karena ini gejala konkret yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis.
Beberapa teori mengenai keindahan yaitu sebagai berikut:
1. Teori Subjektif dan Objektif
a. Teori Objektif, berpendapat bahwa ciri – ciri yang menciptakan nilai estetis yaitu sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda cantik yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat – sifat cantik yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak kuat untuk mengubahnya. Persoalannya yaitu ciri – ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi cantik atau dianggap bernilai estetis. Salah satu jawabannya yaitu perimbangan antar episode – episode dalam benda yang dianggap cantik tersebut.
b. Teori Subjektif, menyatakan bahwa ciri – ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata – mata tergantung pada pencerahan dari si pengamat tersebut. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini dapat diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagi tanggapan terhadap benda itu.
c. Teori campuran, menyatakan keindahan terletak dalam suatu kekerabatan diantara suatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamatinya, misalnya berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, suatu benda memiliki ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui pencerahan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga mengakibatkan rasa menyukai atau menikmati benda itu (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:104).
2. Teori Perimbangan
Teori perimbangan ihwal keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut teori agung ihwal keindahan (the great theory of beauty). Teori agung ihwal keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari episode – bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari episode – episode serta hubungannya satu sama lain. Contohnya, arsitektur Yunani, dimana keindahan dari sebuah atap tercipta dari ukuran , jumlah dan susunan dari pilar – pilar yang menyangga atap tersebut. Pilar – pilar itu mempunyai perimbangan tertentu yang tepat dalam banyak sekali dimensinya (The Liang Gie, dalam Surajiyo 2014:105 ).
3. Teori Bentuk Estetis
Menurut Mondroe Beardesley, menjelaskan adanya tiga ciri yang menjadi sifat-sifat ‘membuat baik (indah)’ dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri itu yaitu:
a. Kesatuan (unity)
Berarti benda estetis itu tersusun secara baik atau tepat bentuknya.
b. Kerumitan (complexity)
Benda estetis atau karya seni memiliki isi dan unsur yang saling berlawanan serta mengandung perbedaan – perbedaan yang halus.
c. Kesungguhan (intensity)
Benda estetis yang baik harus memiliki kualitas tertentu yang menonjol bukan sekedar sesuatu yang kosong. Kualitas itu tidak menjadi masalah apa yang dikandungnya (misalnya suasana suram atau besar hati , sifat lembut atau kasar), asalkan menjadi sesuatu yang intensif atau sungguh – sungguh (The Liang gie, Surajiyo 2014:106).

Penerapan Konsep Estetika Dalam Manajemen
Dalam filsafat manajemen, terkandung dasar pandangan hidup yang mencerminkan keberadaan, identitas dan implikasinya guna mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam pekerjaan manajemen. Untuk merealisasikan tujuan diharapkan beberapa faktor penunjang sehingga merupakan kombinasi yang terpadu, baik menyangkut individu maupun kepentingan umum. Hal ini dimaksudkan adanya keseimbangan diantara faktor – faktor yang diharapkan dalam mencapai suatu kekuatan untuk mengejar suatu hasil yang maksimum.
Mary Parker Follet mengemukakan bahwa administrasi merupakan suatu bentuk seni untuk melaksanakan suatu pekerjaan lewat orang lain. Definisi dari Mary Parker Follet ini mengandung perhatian pada sebuah kenyataan bahwa para manajer dapat mencapai tujuan organisasi dengan cara mengatur orang lain semoga dapat melaksanakan apa saja yang diharapkan dalam suatu pekerjaan, tidak dengan cara melaksanakan pekerjaan tersebut seorang diri. Makara estetika atau seni diterapkan dalam proses penerapan fungsi – fungsi administrasi dalam perusahaan (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling). Terutama di Bali sebagai kawasan pariwisata yang terkenal, tentunya aspek estetika menjadi sangat penting. Contohnya pengerjaan sebuah proyek perusahaan.


Penerapan fungsi – fungsi administrasi tersebut antara lain:
a. Diawali dengan tahap Planning (perencanaan), dikala para arsitek merencanakan membuat bangunan perkantoran bertingkat pasti dikaitkan dengan aspek – aspek peruntukannya apa, bagaimana situasi lingkungan, apakah mengganggu keindahan atau malah merusak lingkungan. Yang pasti estetika suatu rancang bangun seharusnya didasarkan pada taktik bisnis perusahaan dan pertimbangan lingkungan.
b. Tahap Organizing (mengorganisasi), pada tahap ini ada komunikasi antara pemimpin dan manajer dengan para sub-ordinasinya. Ketika terjadi interaksi maka selayaknya kalau manajer memperlakukan sub-ordinasinya dengan cara –cara yang manusiawi. Misalnya pemimpin menyapa karyawan dengan akrab, sehingga akan tercipta suasana kerja yang harmonis dan indah. Pemimpin juga mau mendengar dan merespon positif pendapat sub-ordinasinya.
c. Tahap Actuating (pelaksanaan), dikala perusahaan ingin menggapai keunggulan kompetitif maka salah satu unsur yang ingin dicapai yaitu pengembangan loyalitas konsumen. Untuk itu perusahaan harus bisa memberikan produk yang bermutu dan layanan yang terbaik kepada konsumen. Secara pengembangan nilai lalu dibangun suatu jembatan emosional antara perusahaan dengan konsumen. Bentuknya yaitu tanggung jawab mutu dengan dengan estetika tinggi, pelayanan ramah dan tepat waktu dan konsumen diperlakukan dengan cara aman dan nyaman secara berkelanjutan. Pada gilirannya konsumen akan loyal untuk kembali membeli produk perusahaan tersebut.
d. Tahap Controlling (pengawasan), dimana pengawasan merupakan tindakan seorang manajer untuk menilai dan mengendalikan jalannya suatu acara demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pengawasan yaitu memperbaiki kesalahan, penyimpangan, penyelewengan dan acara lainnya yang tidak sesuai dengan rencana. Misalnya apabila ada bawahan yang melaksanakan kesalahan, pimpinan menegur dengan cara yang baik, tidak emosional dan manusiawi. Sehingga bawahan tidak merasa ketakutan atau tertekan dan selanjutnya dapat memperbaiki kesalahannya.
E. AKSIOLOGI DALAM SOCIO POLITICAL LIFE
Sosial, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti sesuatu ilmu yang berkenaan dengan masyarakat atau mengenai masyarakat. Sedangkan politik merupakan pengetahuan mengenai ketatanegaraan menyerupai sistem pemerintahan dan dasar pemerintahan. Dalam politik selalu menyangkut tujuan – tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan seorang pribadi. Karena itu aspek aksiologis dalam kehidupan sosial politik yaitu kaidah – kaidah nilai yang harus diperhatikan dalam menerapkan ilmu sosial dan politik ke dalam praktis. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antar insan selalu merupakan permainan ihwal toleransi (Susanto, 2016: 118). Ini berlaku dalam ilmu eksakta maupun bahasa, ilmu sosial, religi, ataupun politik, bahkan juga setiap bentuk pikiran yang akan menjadi dogma.
Jujun Suriasumantri dalam Syamsir Torang (2014) menyebutkan bahwa ilmu harus digunakan, dimanfaatkan dan diterapkan untuk kemaslahatan manusia. Ilmu juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup insan dengan mempertimbangkan kodrat dan martabat insan serta kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan insan tersebut maka pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun, diharapkan dapat digunakan atau diterapkan secara komunal dan universal. Komunal berarti milik bersama dan universal berarti tidak mempunyai konotasi panokial menyerupai ras, ideologi, atau agama.

Prinsip Politik sebagai Prinsip Penerapan Ilmu
Otoritas dan obyektifitas ilmiah tak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asas, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Sesuatu yang tanpa asas pasti akan roboh, dan sesuatu yang tanpa penjaga pasti akan musnah. Dengan demikian, otoritas politik merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu. (Syamsir Torang, 2014: 109). Contoh aksiologis dalam Socio Political Life antara lain:
1. Sikap dan Tanggung Jawab Ilmuwan (Latiff Mukhtar, 2014)
Ilmu merupakan hasil karya seorang ilmuwan yang apabila memenuhi syarat – syarat keilmuan akan menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan hanya karena ia warga masyarakat, melainkan karena bertanggung jawab atas hasil penelitiannya semoga disalahgunakan masyarakat.Selain itu pula masyarakat seringkali mendapat banyak sekali masalah yang belum diketahui pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang dengan analisisnya diharapkan bisa menerima pemecahan atas permasalahan tesebut. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk memberikan kepada masyarakat, memberikan perspektif yang benar, untung – rugi, baik dan buruknya sehingga penyelesaian yang obyektif dapat dimungkinkan. Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat menyebabkan mereka memiliki tanggung jawab sosial.
Tugas seorang ilmuwan harus dapat menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Mereka tidak akan membiarkan hasil penelitian maupun temuannya digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun digunakan olah bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan telah bangun dan bersikap terhadap politik dan pemerintah yang berkuasa yang menurut mereka telah melanggar asas kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan yang dapat disalahgunakan sehingga ilmuwan berperan penting dalam menjaga kegunaannya dalam lingkungan sosial dan politik.Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, entah itu berupa teknologi ataupun teori emansipasi dan sebagainya mesti memperhatikan nilai – nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Peran akademisi dalam menanggapi isu lingkungan maupun sosial budaya di masyarakat
Senat Universitas Udayana memutuskan bahwa rencana Reklamasi Teluk Benoa tidak layak untuk diteruskan. Hal tersebut setelah dilakukan pengkajian kembali oleh tim review unud setelah melihat hasil kajian para peneliti Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM Unud). Menurut Prof. Suastika selaku Rektor Unud, proyek diputuskan tidak layak setelah dikaji dari aspek lingkungan, teknis, sosial budaya, dan ekonomi finansial. (www.antarabali.com). Begitu juga tindakan Institut Teknologi Sepuluh November yang menolak penawaran penyelenggara proyek untuk melaksanakan kajian atas proyek tersebut.
2. Seorang Teknokrat
Secara definitif, teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis berdasarkan disiplin ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus terlibatdalam acara berkuasa dan memerintah. Beberapa tokoh yang dipandang sebagai teknokrat Indonesia antara lain: Boediono, Dahlan Iskan, Sri Mulyani, dan Anies Baswedan (www.jpnn.com).Terdapat fungsi ganda pada kalangan teknokrat yakni:
i) Selaku teoritisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan yaitu membentuk hukum umum dari peristiwa empiris atau objek yang membuatkan pengetahuan dimana dapat menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya dan membuat prediksi untuk masa depan.
ii) Selaku praktisi, teknokrat memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin acara berpikir dan bertindak menganalisis fakta dengan tujuan memperlihatkan solusi sejauh yang diperlukan.
3. Pancasila sebagai dasar berpolitik
Terdapat banyak sekali macam pandangan politik dalam kehidupan bermasyarakat. Politik fiskal, politik internasional, politik nasional, politik lokal dan lain-lain. Seluruhnya merupakan pengetahuan ihwal ketatanegaraan maupun urusan pemerintahan yang berkaitan dengan banyak orang pada tiap bidang tersebut. Karenanya penting untuk memahami nilai yang dijadikan pedoman dalam berperilaku politik.
Politik berperan strategis menghasilkan produk – produk hukum yang menyangkut masyarakat banyak. Erika dan Dewa (2014) menyatakan bahwa pembangunan abjad produk hukum yang sarat akan nilai – nilai kepribadian bangsa yang berlandaskan Pancasila merupakan salah satu karakteristik yang dapat ditonjolkan sebagai identitas eksklusif yang mandiri, dengan keyakinan terhadap Sang Pencipta, menghargai nilai – nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dengan asas musyawarah mufakat, serta nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makara prosedur hukum harus mencakup pembangunan hukum dalam wujud pembaharuan peraturan perundang - undangan, pembinaan aparatur Negara, dan masyarakat serta hukum secara struktural, budaya, dan substansi maupun jaminan penghormatan dan penghargaan terhadap HAM bagi setiap warga Negara yang dituangkan dalam bentuk konstitusi.

F. AKSIOLOGI MANAJEMEN TENTANG PERTIMBANGAN NILAI DAN MENJADI AKSI TERHADAP FUNGSI MANAJEMEN
Menurut Susanto (2011) dalam buku Filsafat Ilmu, Latif M (2014:231) mengatakan ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai. Kedua, subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu di mana dalam proses penilaian terhadap unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul empat pendekatan etika yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori nilai ilmiah, dan teori nilai emotif. Dimana teori nilai intuitif dan tori nilai rasional beraliran pendekatan objectivitas, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran pendekatan subjektivitas(Latif M, 2014: 231).
a. Teori Nilai Intuitif (The Intuitif Theory of Value)
Menurut teori ini, sangat sukar kalau tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang adikara itu eksis dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai yang eksis sebagai piranti objek atau menyatu dalam kekerabatan antar objek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada keberadaan perilaku manusia. Setelah seseorang menemukan dan mengakui nilai intuitif melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
b. Teori Nilai Rasional (The Rational Theory of Value)
Menurut teori ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat objektif dan murni independen dari manusia, dimana nilai ini ditemukan dari hasil penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melaksanakan sesuatu yang benar dikala ia tahu dengan nalarnya bahwa itu benar sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melaksanakan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan logika atau peran Yang Mahakuasa nilai objektif adikara yang seharusnya mengarahkan perilaku.
c. Teori Nilai Alamiah (The Naturakistic Theory of Value)
Menurut teori ini, nilai diciptakan insan bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dialaminya . Nilai yaitu produk biososial, artefak insan yang diciptakan, dipakai, diuji, oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental di mana keputusan nilai tidak adikara tetapi bersidat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
d. Teori Nilai Emotif (The Emotive Theory of Value)
Jika tiga pemikiran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan faktual melainkan hanya merupakan lisan emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi episode penting dari tindakan manusia.
Dalam Encyclopediaof Phylosophy dijelaskan, aksiologi disamakan denganValue and Valuation. Ada tiga bentuk value and valuation (Amsal B, 2004:164).
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai suplemen segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, mencakup seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi yaitu episode dari etika. Lewis menyebutkan nilai sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan menyerupai estetis dari sebuah karya seni, sebagai nilai intrinsic atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, ataupun sebagai nilai contributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya dikala kita berkata nilai – nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai. Kemudian dipakai untuk sesuatu yang memiliki nilai sebagai mana berlawanan dengan sesuatu yang tidak dianggap baik.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam lisan menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan evaluasi dikala hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan hal ihwal menilai, ia berarti menghargai dan mengevaluasi.
Menurut Budidarjo (2011) dalam Syamsir Torang (2014:112) nilai – nilai organisasi sebaiknya disosialisasikan dan dibudayakan semoga mudah diterima oleh para anggotanya. Organisasi yang berkualitas, harus memiliki tujuh nilai yaitu integrity,professionalism,customer orientation, innovation, learning, team work, dan service excellent. Budidarjo dalam Syamsir Torang (2014:111-114) menyebutkan terdapat delapan fokus nilai budaya organisasi antara lain:
1. Pelanggan
Organisasi berorientasi pada nilai – nilai cutomer satisfaction, customer oriented, customer focus, cutomer value, dan empaty for clients.
2. Pelayanan dan Kualitas
Pelayanan yang diberikan organisasi berorientasi pada nilai – nilai: service orientedservice awareness, service excellent dan quality.
3. Orientasi Kelompok
Kelompok dalam organisasi tidak bisa diabaikan, oleh karena itu organisasi harus berorientasi pada nilai – nilai kelompok: team work, people oriented, respect for other, cooperation dan collaboration.
4. Orientasi insan
Organisasi juga harus memperhatikan sumber daya insan yang dimiliki dengan berorientasi pada nilai – nilai: commitment for human development, caring, employee development, humanism, empowerment dan people development.
5. Inovatif
Nilai – nilai inovatif yang harus dimiliki oleh organisasi yaitu: continuous improvement, creativity, continuous pursuit of excellent, knowledge based, technobasic integrity, champion spirit dan competitive.
6. Strategik
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh taktik yang digunakan dalam mencapai tujuannya. Nilai – nilai strategic yang harus dimiliki organisasi yaitu: strategic alliance, good leadership, continuous learning, networking, professionalism,performance oriented, professional excellent, winning together, visionary dan world class.
7. Prestasi
Prestasi merupakan impian organisasi, oleh karena itu nilai prestasi yang harus dimiliki organisasi yaitu: achieving, adaptenes, agility, caring, competent people, confident, dedication, discipline, hardworking, reliable, initiative, openness, perseverance, responsible, strive for excellent dan synergy.
8. Moral atau Etika
Nilai – nilai moral atau etika merupakan nilai yang sangat signifikan yang harus dimiliki organisasi, antara lain: etical, good attitude, fairness, honesty, humanism, peace of main, social responsibility, trust dan equality.
Dalam fungsi – fungsi administrasi yaitu planning, organizing, actuating dan controlling, seluruh bentuk nilai sangat bermanfaat untuk setiap keputusan yang akan dibuat dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi suatu organisasi dalam pencapaian tujuannya. Dalam kaitannya dengan manajemen, bagamaimana seorang manajer merencanakan suatu acara kemudian pengorganisasian rencana – rencana tersebut, mengimplementasikan rencana dan yang terakhir melaksanakan pengawasan sehingga serangkaian fungsi administrasi tersebut dapat memberi nilai pada perusahaan.



Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar

No comments

Advertiser